Prof. Heru Suhartanto: Membenahi Sirekap KPU

Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia > Thought Leadership > Prof. Heru Suhartanto: Membenahi Sirekap KPU

Saat masyarakat selesai memberikan suara di tempat pemungutan suara dalam pemilihan umum, yang dinanti adalah hasilnya.

Hasil di tempat pemungutan suara setempat dapat dilihat secara langsung, misalnya dengan memfoto formulir C1. Namun, untuk TPS-TPS lain, mungkin perlu tenaga dan waktu untuk melihatnya. Maka, masyarakat berpatokan pada situs penghitungan suara. Beberapa situs seperti ini sudah bertebaran.

Salah satu situs yang menjadi harapan dan patokan masyarakat adalah situs Sistem Informasi Rekapitulasi Suara (Sirekap) karena dikelola Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan diharapkan paling kredibel.

Keresahan masyarakat muncul saat mengetahui situs Sirekap sempat mengalami down dan kemudian saat berfungsi kembali mulai ditemukan kejanggalan-kejanggalan di banyak tempat.

Seperti diberitakan, karena adanya kejanggalan tersebut, penghitungan elektronik Sirekap memunculkan kehebohan dan memicu spekulasi dugaan penggelembungan suara pada Pemilu 2024. Bahkan, ada pihak tertentu di masyarakat yang meminta KPU menghentikan penghitungan suara elektronik tersebut.

Salah satu yang disoroti adalah kekeliruan input data jumlah suara di sebuah TPS di Lampung yang menimbulkan kehebohan. Kejadian ini memunculkan dugaan terjadinya kecurangan dan unsur kesengajaan untuk mengubah data di Sirekap guna memenangkan pasangan calon tertentu.

Insiden tersebut juga menimbulkan keraguan terhadap legitimasi penyelenggara pemilu. Apa yang sebenarnya terjadi? Dan, bagaimana mencegah hal itu tidak terulang di masa depan?

Sumber masalah

Saat penulis mencermati formulir C1 untuk pilpres, terlihat jelas ada dua bagian. Yang sebelah kiri ada kotak untuk catatan penghitungan yang dilakukan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) secara manual untuk ketiga pasangan calon dan yang sebelah kanan adalah tiga bagian untuk menuliskan angkanya.

Di bagian kanan ini baris atasnya perlu ditulis angka 0 sampai dengan 9 pada tiga kotak dan di bawah tiga kotak itu perlu ditandai bulatan untuk angka 0 sampai 9 oleh KPPS untuk ketiga pasangan calon.

Bagian kotak yang ditulis angka kemungkinan akan dipindah oleh perangkat optical character recognition (OCR) yang didukung oleh perangkat kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) dan bagian yang ditandai oleh bulatan akan dipindah oleh optical mark recognition (OMR).

Potensi kesalahan akan terjadi, pertama, saat KPPS salah menulis angka manual di bagian kanan, misalnya angka 77 ditulis dempet ke kiri, kemudian bulatan di bawahnya mengikuti angka 77 tersebut.

Maka, oleh pemindai OMR dan OCR, itu bisa diterjemahkan menjadi 77X, di mana X bisa berupa angka lainnya.

Penulisan akan benar jika 77 ditulis dempet ke kanan dan bulatan kolom pertama perlu diisi di bagian angka nol, lalu bulatan berikutnya pada posisi angka 7. Jika ini dilakukan, pemindai OMR dan OCR akan memproses dan menghasilkan angka 77 seperti halnya angka manual.

Kesalahan kedua, misalnya KPPS sudah menulis secara manual angka 77 dempet ke kanan, tetapi salah mengisi bulatan di bawahnya, yang akan terjadi adalah OMR akan membaca dan menghasilkan angka yang salah.

Jika dicermati, angka maksimum yang bisa dibaca pemindai untuk setiap pasangan calon adalah 999. Angka maksimum ini tidak dimungkinkan mengingat ada pembatasan bahwa di setiap TPS maksimum hanya akan ada 300 suara.

Kalaupun ada angka lebih dari itu yang muncul, seperti ditemukan masyarakat—yakni ada lebih dari 300 suara, bahkan ratusan ribu suara—perlu dicari di mana sumber masalahnya.

Kesalahan tersebut dapat diminimalkan, pertama, jika semua petugas KPPS sudah mahir dan benar dalam menuliskan angka dan pembulatan di formulir. Akan sangat ideal jika sebelum mereka menjalankan tugas, ada proses pelatihan dan uji coba oleh petugas KPPS dan pihak-pihak terkait dengan disaksikan masyarakat.

Selama ini, kemungkinan petugas KPPS hanya membaca buku petunjuk dari KPU dan banyak yang belum paham cara melakukannya.

Kedua, suatu prosedur pengetesan perlu dilakukan dengan benar, terutama testing untuk proses memberikan output atau informasi yang benar. Jika terjadi error atau ketidaksesuaian, jangan langsung ditampilkan di situs dan direkap, tetapi disimpan ke tabel sementara yang menampung kesalahan tersebut. Setelah error itu dibetulkan, baru ditampilkan di situs. Kemudian, kebenaran total suara yang masuk pun perlu dicek dengan seluruh data pemilih di TPS terkait.

Jika terjadi ketidaksesuaian, itu yang perlu diperbaiki dahulu. Jika prosedur ini dilakukan pada algoritma yang dipakai, hal ini akan menjamin kebenaran informasi yang dibaca masyarakat.

Tampaknya sumber masalah utama adalah kesalahan dalam berkas yang akan dipindai. Jika diamati, kolom ini bisa menjadi bahan bukti yang sahih saja dan tidak perlu dipindai. Sirekap bisa memakai data yang diinput secara manual dan saat diunggah akan lebih cepat karena hanya mengirim tiga angka untuk tiga pasangan calon.

Data suara masyarakat hanya akan disimpan dan diunggah jika sudah diverifikasi KPU. Untuk menjaga kebenaran pihak pengunggah, perlu dimasukkan NIK sehingga terhindar dari ulah pihak-pihak yang ingin membuat keonaran.

Pendekatan ini juga sudah diterapkan oleh beberapa situs masyarakat pemantau pemilu.

Karena pengembang adalah akademisi dari perguruan tinggi ternama, penulis berprasangka baik dan sangat yakin tidak mungkin mereka alpa terhadap antisipasi masalah yang sudah terjadi. Pengembang juga menyatakan telah dilakukan pengujian Sirekap yang memadai dan sudah sesuai standar.

Oleh karena itu, dengan kejadian ini, intuisi akademisi dan peneliti sistem informasi akan berkata, perlu diselidiki atau diaudit apa sebenarnya yang menyebabkan kehebohan itu, dan harus dipastikan hal itu tak akan terulang di masa depan.

Server Sirekap

Kegelisahan berikutnya terkait dengan keberadaan server Sirekap yang sebelumnya dari penyelidikan masyarakat disinyalir ada di luar Indonesia.

Dalam hal ini ada aspek yuridis dan teknis yang perlu dijelaskan KPU dan pihak terkait. Peraturan berlaku mewajibkan data masyarakat Indonesia disimpan di dalam negeri. Apakah peraturan tersebut membolehkan penempatan data di luar Indonesia dalam kondisi tertentu, misalnya ketika kemampuan server di Indonesia kurang mampu memproses data input dari 800.000 lebih TPS?

Jika benar ada di luar Indonesia, perlu ditunjukkan ada jaminan keselamatan dan keamanan data itu dari pihak-pihak yang menyalahgunakan atau ingin membuat keonaran.

Saat ini, dari penyelidikan masyarakat, Sirekap memang sudah terpasang di server di Indonesia. Meski demikian, penyelidik tetap perlu mendapatkan source codes (kode sumber), perangkat dan data terkait, saat sistem masih di luar negeri.

Ini untuk menjamin keberhasilan identifikasi masalah yang menghebohkan setelah terpantaunya Sirekap di luar negeri, hingga pemindahannya ke dalam negeri.

Terkait kemampuan server di Indonesia yang mungkin dijadikan alasan untuk penempatan server di luar negeri, tentunya alasan itu perlu didukung oleh data-data teknis uji coba yang menunjukkan ketidakmampuan server di Indonesia. Apakah sudah dicoba dengan high performance computer (HPC) yang ada di BRIN sebelum dialihkan keluar?

Belajar dari tetangga, yakni Jepang dalam mendeteksi dampak tsunami, mereka menggunakan superkomputer sendiri.

Saat tanda-tanda awal tsunami muncul, seperti gempa, semua proses lain di superkomputer tersebut ditahan, kemudian proses deteksi dan dampak tsunami dijalankan. Proses ini hanya perlu waktu sebentar dan selesai hanya dalam beberapa detik. Setelah itu, proses lain pun bisa berjalan normal kembali seperti biasa. Terlihat pemakaian HPC tidaklah setiap saat dan tidak akan mengganggu proses lain.

Perbaikan ke depan
Di masa yang akan datang, penulis yakin ada peluang untuk perbaikan. Kita membayangkan, Indonesia mempunyai sistem basis data kependudukan yang valid dan real time serta didukung oleh HPC.

Setiap ada perubahan status kependudukan, sistem langsung menyesuaikan, misalnya adanya kematian, kelahiran, pindah domisili. Kemudian ada menu pembentukan daftar pemilih tetap (DPT) sehingga tidak terjadi lagi kejadian di mana tiba-tiba seseorang tidak ada di DPT menjelang hari-H, padahal lahir di domisili dan lima tahun lalu masuk DPT.

Untuk pengembangan sistem atau hal lain yang terkait dapat diberdayakan program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) ketika ribuan mahasiswa dengan bimbingan para dosen dapat menerapkan ilmunya untuk pihak di luar kampus.

Selama ini, MBKM dalam bidang sistem dan teknologi informasi sudah banyak dimanfaatkan masyarakat dan industri. Suatu saat, bukan mustahil MBKM dan kegiatan Tridharma Perguruan Tinggi dapat ikut membantu penyelesaian masalah bangsa dengan efisien, murah, tetapi tetap berkualitas.

Penulis: Prof. Heru Suhartanto, Guru Besar Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia

Terbit di Harian Kompas, 27 Februari 2024