Pada 1993, sebuah kartun di majalah The New Yorker menyatakan ”On the Internet, nobody knows you’re a dog” (Di internet tidak ada yang tahu bahwa Anda adalah seekor anjing). Kalimat ini menjadi sangat populer dan sering menjadi rujukan terkait pentingnya identitas digital.
Di era teknologi internet yang berkembang pesat, 31 tahun sesudah munculnya kartun itu, tetap saja belum ada cara yang mudah untuk membuktikan secara daring siapa kita, apakah kita sudah berumur 18 tahun lebih, di mana kita tinggal, dari sekolah/universitas mana kita belajar, di mana kita bekerja, dan aset apa saja yang kita miliki.
Di dunia nondigital, setiap kita melakukan aktivitas, seperti check-in hotel, membeli tiket pesawat atau kereta api, menyewa kendaraan atau memasuki gedung, kita perlu membuktikan siapa diri kita dengan menunjukkan dokumen identitas, seperti kartu tanda penduduk (KTP), surat izin mengemudi (SIM), nomor pokok wajib pajak (NPWP), paspor, dan kartu pegawai.
Dokumen identitas itu dikeluarkan pihak berwenang tepercaya untuk kemudian diverifikasi petugas hotel, agen perjalanan, penjaga gedung atau pihak lain sesuai dengan aktivitas yang kita lakukan.
Saat banyak aktivitas kehidupan beralih ke digital, menjadi pertanyaan apakah ”pengganti” dari paspor, NPWP, SIM, KTP, kartu pegawai, yang bisa kita ”tunjukkan” ke platform digital untuk kita dapat mendaftar, login, dan memverifikasi hak serta kewenangan kita seperti halnya di dunia nondigital?
Mekanisme yang banyak digunakan sampai saat ini masih berupa username dan password ditambah dengan beberapa tambahan permintaan data pribadi yang akhirnya membuat data pribadi kita tersebar ke banyak platform digital di berbagai institusi penyelenggara.
Maraknya kebocoran data pribadi dari berbagai instansi penyelenggara platform digital tentu saja menurunkan kepercayaan kita akan pelindungan terhadap data pribadi yang kita serahkan. Data pribadi yang terambil dari aktivitas serangan siber kemudian diperdagangkan di dunia maya dan membuat privasi kita terkuak untuk kemudian dimanfaatkan pihak-pihak tertentu demi keuntungan mereka. Tentu saja pemerintah perlu hadir untuk melindungi masyarakat akan pengelolaan data pribadi mereka.
Pelindungan data pribadi
Dikeluarkannya Undang-Undang (UU) No 27/2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (PDP) ditujukan untuk menjamin hak warga negara atas PDP dan menumbuhkan kesadaran masyarakat serta menjamin pengakuan dan penghormatan atas pentingnya PDP. Penatakelolaan PDP tentu akan lebih dirincikan dalam peraturan turunannya, termasuk juga penetapan lembaga penyelenggara PDP oleh Presiden.
Adanya UU PDP diharapkan membuat instansi pengelola data pribadi, baik selaku pengendali data pribadi maupun prosesor data pribadi, menyelenggarakan pemrosesan data pribadi sesuai ketentuan agar hak warga negara terkait pelindungan data pribadi terlaksana.
Berbagai tindakan terkait tata kelola data, mulai dari klasifikasi data, penyediaan fasilitas cadangan (back up), teknik enkripsi, hingga uji penetrasi perlu dilakukan seperti telah diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 71/2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik.
Upaya instansi penyedia platform untuk menyelenggarakan PDP sesuai UU PDP tentu tidak akan dapat mengatasi kebocoran data pribadi jika kesadaran masyarakat terkait pentingnya PDP tidak ditumbuhkan. Masih kita lihat di beberapa media sosial adanya sebagian masyarakat yang mengunggah berbagai dokumen berisi data pribadi, seperti KTP, kartu keluarga (KK), rapor pendidikan, dan ijazah.
Hal itu menunjukkan pentingnya peningkatan literasi digital masyarakat. Terkait hal ini, pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) telah banyak menggelar Gerakan Nasional Literasi Digital ke berbagai elemen masyarakat yang mencakup pembelajaran tentang Etika Digital, Budaya Digital, Keamanan Digital, dan Keterampilan Digital.
Meski gerakan itu telah dilaksanakan secara terstruktur, masif, dan sistematis, hasil survei Status Literasi Digital Indonesia 2022 yang dilakukan Kominfo bersama Katadata Insight Center menunjukkan hanya separuh dari responden memiliki kebiasaan baik terkait PDP. Artinya, masih separuh responden lagi yang perlu ditingkatkan kesadarannya akan pentingnya PDP.
Identitas digital
Kembali ke soal identitas digital, pertumbuhan penggunaan ponsel cerdas, media sosial, dan internet memunculkan kebutuhan akan identitas digital.
Penyelenggara layanan publik, baik dari pemerintah maupun dunia usaha, pada akhirnya perlu mengetahui dengan siapa mereka berurusan. Adanya identitas digital yang dikombinasikan dengan ponsel cerdas dan internet membuat layanan dapat disajikan secara digital dan menjangkau lebih banyak pihak dengan lebih cepat, lebih mudah, dan lebih murah.
Survei Penetrasi Internet Indonesia 2024 dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menunjukkan bahwa tingkat penetrasi internet di Indonesia sudah mencapai 79,5 persen, yang artinya sekitar 221 juta jiwa.
Saat mekanisme identifikasi lemah, masyarakat dapat mengalami kesulitan untuk membuktikan kelayakan mereka akan berbagai bantuan sosial yang ada. Tanpa adanya identitas yang bersifat umum dan mendukung interoperabilitas, koordinasi antarberbagai program pembangunan yang memerlukan identifikasi dari penerima manfaat akan menjadi susah, mahal, serta rentan penyalahgunaan dan kebocoran.
Seseorang bisa saja menggunakan berbagai identitas untuk mendaftar demi mendapatkan lebih banyak bantuan uang atau makanan. Seorang kepala keluarga bisa saja membengkakkan jumlah anggota keluarganya dengan memasukkan anak orang lain saat pendaftaran untuk mendapatkan lebih banyak manfaat. Saat bantuan berupa lapangan kerja, seseorang bisa saja mengalihdayakan atau menjual kesempatan itu ke orang lain. Kematian seseorang dapat saja tidak segera diberitahukan kerabatnya agar manfaatnya terus dapat diterima.
Kecurangan seperti ini tentu mengurangi kesempatan bagi mereka yang memang benar-benar membutuhkan berbagai bantuan yang disediakan.
Perlunya identitas digital telah dinyatakan oleh pemerintah melalui Peraturan Presiden No 82/2023 tentang Percepatan Transformasi Digital dan Keterpaduan Layanan Digital Nasional. Pasal 2 Ayat (3) perpres ini memberikan amanat kepada Kominfo untuk membangun layanan identitas digital terpadu.
Hasil survei Bank Dunia sepanjang 2021-2022 yang diterbitkan tahun2024, posisi Indonesia saat ini sama dengan Malaysia, Thailand, Filipina, di mana layanan KTP di Indonesia telah menyimpan data identitas dalam bentuk digital (bukan kertas) serta informasi identitas sudah dapat diverifikasi secara elektronik (bukan manual), tetapi belum memiliki layanan identitas digital online.
Kementerian Dalam Negeri memperkenalkan Identitas Kependudukan Digital (IKD) atau disebut juga KTP digital pada April 2022. IKD diharapkan dapat digunakan untuk pembuktian, otentikasi serta otorisasi identitas yang akan terhubung ke kementerian lembaga lainnya, seperti NPWP di Kementerian Keuangan, sertifikat vaksin di Kementerian Kesehatan, dan Kartu ASN di Badan Kepegawaian Nasional.
IKD juga diharapkan terhubung dengan sembilan layanan SPBE Prioritas yang telah diamanatkan dalam Perpres No 82/2023, mulai dari layanan pendidikan, kesehatan, bantuan sosial, kependudukan, keuangan, pemerintahan, portal layanan, Satu Data Indonesia, sampai kepolisian.
Ada banyak pilihan teknologi yang dapat digunakan untuk mendukung terwujudnya identitas digital online, mulai dari biometrik, tanda tangan elektronik, dan berbagai jenis kartu untuk urusan kredensial sampai ke penggunaan blockchain untuk urusan otentikasi dan kepercayaan (trust). Jika dikaitkan dengan PDP, yang diharapkan masyarakat adalah teknologi identitas digital yang memungkinkan masyarakat memiliki kedaulatan terhadap data pribadi yang akan digunakan dalam verifikasi identitas.
Penyelenggara identitas digital
Di Singapura, layanan identitas digital dikelola pemerintahnya melalui layanan Singpass yang telah berevolusi sejak 2003. Sampai 2022, Singpass telah berhasil mengintegrasikan lebih dari 2.000 layanan dari 700 instansi pemerintah dan dunia usaha serta digunakan 97 persen masyarakat.
Di Korea, identitas digital untuk SIM telah memanfaatkan teknologi blockchain yang merupakan hasil kolaborasi antara Kepolisian Korea dengan Otoritas Lalu Lintas Jalan Korea serta tiga penyedia jasa telekomunikasi besar di Korea.
Turki juga mencanangkan penggunaan teknologi blockchain pada layanan identitas digital e-Devlet mereka.
Sesuai amanat perpres, pemerintah melalui Kominfo perlu hadir dalam penyelenggaraan identitas digital terpadu. Namun, seperti halnya penyelenggaraan sertifikat elektronik, bukan tak mungkin akan bermunculan penyelenggara identitas digital dari institusi privat untuk dimanfaatkan di lingkup privat. Tentu saja institusi privat penyelenggara identitas digital perlu memiliki interoperabilitas dengan fasilitas layanan identitas digital pemerintah.
Penyelenggaraan identitas digital lingkup privat bahkan dapat saja berkembang untuk memiliki keterhubungan dengan penyelenggara dompet elektronik atau dengan ekosistem blockchain lain, baik di lingkup nasional maupun internasional.
Identitas digital memberikan jaminan tersampaikannya berbagai program pemerintah ataupun nonpemerintah kepada pihak yang tepat dengan cara cepat, mudah, dan murah.
Semua program yang dijanjikan para capres pada pemilu lalu, baik pendidikan gratis, makan siang dan susu gratis, maupun internet gratis, membutuhkan identitas digital penerima manfaat agar program yang disampaikan terlacak dengan baik, tak bocor, dan tepat sasaran. Identitas digital juga akan memudahkan urusan daftar pemilih tetap (DPT) pemilu berikutnya.
Namun, perlu tetap disadari, negeri kita masih mengalami kesenjangan digital. Masih ada lebih dari 20,5 persen penduduk Indonesia yang belum tersentuh internet dan memerlukan saluran layanan yang tidak berbasis internet agar mereka tidak ditinggalkan sebagai bagian dari program pembangunan yang inklusif.
Bahkan, 79,5 persen yang sudah terhubung internet juga masih perlu ditingkatkan literasi digitalnya. Semuanya perlu dimulai dari sekarang untuk dapat mewujudkan Visi Indonesia 2045 sebagai Negara Berdaulat, Maju, Adil, dan Makmur serta mewujudkan Indonesia sebagai negara dengan ekonomi terbesar kelima di dunia.
Penulis: Prof. Yudho Giri Sucahyo, Guru Besar Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia
Terbit di harian Kompas, 2 April 2024