AFS Bina Antarbudaya Berkunjung ke Fasilkom UI: Membuka Wawasan Anak Muda tentang Kecerdasan Artifisial

Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia > Campus News > AFS Bina Antarbudaya Berkunjung ke Fasilkom UI: Membuka Wawasan Anak Muda tentang Kecerdasan Artifisial

Depok, 13 November 2025American Field Service (AFS) Bina Antarbudaya mendatangkan berbagai anak muda dari seluruh Indonesia, mulai dari Sabang hingga Merauke, ke Gedung Baru Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia (Fasilkom UI). Kegiatan ini menjadi bagian dari upaya AFS dalam membentuk global citizen, yaitu individu dengan keterampilan lintas budaya yang mampu memimpin dan berkolaborasi di berbagai konteks sosial. Melalui program pertukaran pelajar, studi luar negeri, relawan, dan pendidikan antarbudaya, AFS membantu generasi muda mengembangkan kepemimpinan, kemampuan beradaptasi, serta empati terhadap keberagaman.

Di Indonesia, peran AFS dijalankan oleh Bina Antarbudaya, mitra resmi AFS Intercultural Programs yang berdiri pada 2 Mei 1985 oleh tokoh-tokoh nasional seperti Taufiq Ismail, Tanri Abeng, Irid Agoes, Kartono Mohamad, dan Sophie Gunawan Satarie. Sebagai organisasi nirlaba dan berbasis relawan, Bina Antarbudaya berkomitmen untuk memfasilitasi pembelajaran lintas budaya bagi pelajar Indonesia, memberikan kesempatan untuk memperluas wawasan global, serta mengembangkan kemampuan kepemimpinan dan sains sebagai bekal menjadi pemimpin masa depan.

Kunjungan ini bertujuan untuk mengenalkan para siswa pada Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan artifisial. Sesi diawali oleh Bapak Adila Alfa Krisnadhi, S.Kom., M.Sc., Ph.D., selaku Manajer Riset dan Pengabdian Masyarakat Fasilkom UI, yang membuka materi dengan sebuah pertanyaan sederhana namun menarik “Apa itu AI?”

Bapak Adila kemudian meminta para siswa menebak apakah tiga benda sehari-hari, yaitu lift, mesin cuci, dan lampu lalu lintas, termasuk dalam kategori AI. Ada beberapa yang menjawab bahwa mereka AI, namun ketiganya bukanlah AI. Beliau menjelaskan bahwa perbedaan utamanya terletak pada satu hal penting, yaitu AI memiliki kemampuan untuk belajar.

Bapak Adila melanjutkan sesi dengan demonstrasi langsung menggunakan situs teachablemachine.withgoogle.com — sebuah platform interaktif yang memungkinkan siapapun melatih AI dengan mudah. Dalam praktik tersebut, beliau memperlihatkan bagaimana AI dapat belajar membedakan antara botol yang penuh dan botol yang tidak penuh.

Dengan langkah sederhana, Bapak Adila terlebih dahulu memasukkan sejumlah data contoh ke sistem, lalu menunjukkan botol di depan kamera. AI kemudian menganalisis gambar tersebut dan memberikan hasil prediksi, apakah botol itu penuh atau tidak. Para siswa tampak terkesima ketika hasil yang ditampilkan terbukti akurat.

Pada sesi berikutnya, Bapak Adila menjelaskan bagaimana model seperti ChatGPT dapat menghasilkan tulisan yang tampak manusiawi. Ia menggambarkan bahwa ChatGPT bekerja dengan cara menebak kata berikutnya berdasarkan pola bahasa yang dipelajari. Misalnya, ketika diberikan kalimat awal “Pada suatu hari, hiduplah seekor…”, model akan memilih kelanjutan yang paling mungkin, seperti “kelinci kecil bernama Lilo”. Proses ini bukan karena ChatGPT memahami arti kata seperti manusia, tetapi karena ia mengenali pola-pola bahasa dari data yang telah dipelajarinya.

Lebih lanjut, Bapak Adila menerangkan bahwa setiap kata diubah menjadi token berupa angka. Model kemudian menganalisis hubungan antar-token untuk memahami konteks, seperti bagaimana kata “kucing” sering muncul dekat dengan “meja” dalam frasa “kucing duduk di atas meja”. Dengan mengenali pola semacam ini, ChatGPT dapat menyesuaikan jawabannya berdasarkan detail prompt yang diberikan.

Bapak Adila juga memaparkan bagaimana AI mampu mengenali pola visual melalui image recognition, sehingga AI dapat digunakan untuk berbagai kebutuhan seperti tracking, pengukuran luas wilayah, hingga penelitian prediksi gempa—meski teknologi tersebut masih belum sepenuhnya akurat. Selain itu, beliau memperkenalkan penerapan AI dalam bidang aksesibilitas, yaitu sistem yang dapat menerjemahkan bahasa isyarat ke Bahasa Indonesia dan sebaliknya, membuka peluang besar bagi inklusivitas dan komunikasi lintas kemampuan di masa depan. 

Di akhir sesinya, Bapak Adila memberikan informasi kepada murid-murid bahwa tahun depan telah direncanakan Program Studi Sarjana Kecerdasan Artifisial (Prodiska). Sehingga murid-murid yang tertarik mempelajari lebih dalam soal AI bisa mengikuti program tersebut di tahun 2026.

AI juga mulai diterapkan di bidang hukum melalui platform Klaussa, sebuah aplikasi yang dikembangkan oleh mahasiswa dan alumni Fasilkom UI yaitu Bryan Jeshua Mario Timung, Salma Kurnia Dewi, Juan Dharmananda Khusuma, Patrick Samuel Evans Simanjuntak, Eryawan Presma Yulianrifat, serta Bryan Tjandra (alumni). Klaussa dirancang untuk menyederhanakan pekerjaan repetitif dan meminimalkan human error dalam berbagai proses hukum. Melalui fitur Legal Research Assistant, AI dapat membantu mencari dasar hukum sekaligus menyediakan sitasi otomatis. Pada fitur Guardrail (Smart Contract Analysis), AI membantu meninjau kontrak dan memastikan kesesuaiannya dengan regulasi yang berlaku. Sementara itu, Pipeline (Agenic AI) mampu mengekstrak informasi penting dari dokumen berukuran besar menjadi tabel ringkas atau file Excel. Dengan visi menurunkan biaya layanan hukum sekaligus meningkatkan produktivitas, Klaussa berupaya membuat akses layanan hukum lebih terjangkau bagi semua orang, bahkan menyediakan layanan tanpa batas selama masa berlangganan.

Sesi dilanjutkan dengan pemaparan pengalaman dari tim Three Vectors yang beranggotakan Darren Aldrich, Anders Willard Leo, dan Faiz Assabil Firdaus. Mereka berhasil meraih juara di bidang Penambangan Data pada Gemastik 2025. Mereka membagikan perjalanan kompetisi yang menantang, di mana peserta harus membangun sebuah sistem dalam waktu hanya lima jam tanpa akses internet. Dalam kondisi tersebut, Three Vectors mengembangkan sistem Efisien untuk Rekognisi Aksara Jawa Berbasis Compound Scaling. Mereka menceritakan bagaimana proses yang tidak sepenuhnya berjalan sempurna justru mendorong mereka untuk berpikir cepat, dan berkat ide brilian yang muncul di menit-menit terakhir, mereka berhasil menyelesaikan solusi yang kompetitif dan akhirnya membawa pulang medali emas.

Peserta kemudian diberikan sesi tanya jawab, beberapa peserta mengajukan pertanyaan seputar pemanfaatan AI dalam kehidupan profesional. Salah satu pertanyaan menarik datang dari peserta yang menanyakan bagaimana AI di aplikasi Klaussa digunakan oleh para profesional hukum. Narasumber menjelaskan bahwa AI mampu memangkas waktu kerja secara signifikan, terutama dalam proses pencarian dasar hukum, analisis kontrak, dan pengolahan dokumen yang bersifat repetitif, sehingga efisiensi dan produktivitas dapat meningkat. 

Pertanyaan lain yang turut menarik perhatian adalah kekhawatiran apakah penggunaan AI dapat membuat otak manusia menjadi tumpul. Menanggapi hal tersebut, Bapak Adila menekankan pentingnya penggunaan AI secara moderat agar tidak menyebabkan penurunan kemampuan kognitif. Menurut beliau, fondasi kemampuan manual tetap harus dikuasai sebelum seseorang mengandalkan AI sebagai alat bantu.

Sebagai penutup, kegiatan ini tidak hanya memperkenalkan konsep-konsep kecerdasan artifisial kepada peserta, tetapi juga membuka wawasan tentang bagaimana AI dapat dimanfaatkan secara bijaksana dan bertanggung jawab. Harapannya, generasi muda dapat menjadi pengguna teknologi yang kritis dan inovatif, sekaligus tetap menjaga nilai-nilai kemanusiaan dalam setiap perkembangan digital yang mereka hadapi.