Depok, 21 Mei 2025 — Nama Wildan Fahmi Gunawan baru-baru ini mencuri perhatian setelah terpilih masuk dalam daftar Forbes 30 Under 30 Asia. Alumnus Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia (Fasilkom UI) ini mendapat penghargaan atas kontribusinya melalui platform edukasi Dibimbing dan pendirian Cakrawala University.
“Bagi kami, hal ini jadi sebuah achievement yang sangat membanggakan. Tapi yang paling penting, ini sangat menginspirasi. Kami bukan influencer, tapi orang mengenal saya karena Dibimbing, karena Cakrawala University, karena apa yang sudah kami buat,” ujar Wildan.
Perjalanan Wildan membangun Dibimbing dimulai pada 2020, saat pandemi COVID-19 melanda. Bersama dua rekannya—Zaky dan Alim—yang sama-sama alumnus UI dan penerima beasiswa Rumah Peradaban, mereka menyadari banyak lulusan perguruan tinggi, kesulitan mendapatkan pekerjaan.
“Kita anak UI sempat kesulitan dapat kerja. Maka dari situ kita coba bikin Dibimbing untuk bantu menghilangkan gap antara industri dan talent,” jelas Wildan.
Dekan Fasilkom UI Prof. Dr. Ir. Petrus Mursanto, M. Sc mengatakan pencapaian Wildan sebagai alumnus Fasilkom UI ini bukan sekadar kebanggaan bagi almamater, tetapi juga wujud nyata dari semangat untuk menjadi unggul dan impfacful. UI percaya, pendidikan tidak berhenti pada penguasaan ilmu, tetapi pada bagaimana ilmu tersebut digunakan untuk memberi dampak luas bagi masyarakat.
“Wildan menunjukkan bahwa dengan tekad, keberanian berinovasi, dan kepedulian sosial, lulusan kita dapat menjadi agen perubahan yang konkret. Semoga kisahnya menjadi inspirasi bagi mahasiswa dan alumni lain untuk terus berkarya, menjawab tantangan zaman, dan menembus batas-batas pencapaian yang sebelumnya tak terbayangkan,” tutur Petrus.
Hingga kini, Dibimbing telah membantu lebih dari 95% pesertanya mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Transformasi karier para alumninya mencengangkan—ada yang dari seorang tukang parkir menjadi digital marketer, hingga teller bank yang beralih profesi menjadi data scientist. Kesuksesan ini mendorong timnya memperluas dampak lewat pendirian Cakrawala University pada 2024.
“Cakrawala adalah perluasan dari Dibimbing. Visi kami tetap sama: helping people get a better job,” kata Wildan. “Universitas lain mungkin mengajarkan hal luas, bisa untuk akademisi atau inovasi. Kami fokus: orang masuk ke sini supaya dapat kerja.”
Cakrawala University menerapkan sistem three-plus-one career ready, di mana mahasiswa menempuh tiga tahun kuliah dan satu tahun magang atau membangun bisnis yang juga dihitung sebagai SKS. Bahkan sejak semester pertama, mahasiswa didorong untuk langsung magang di industri.
“Dari semester 1 ke semester 2, 50 mahasiswa kami sudah masuk industri. Beberapa bahkan jadi best intern, mengalahkan mahasiswa dari kampus lain yang magang di semester 6,” kata Wildan.
Dibimbing sendiri tidak hanya dirancang sebagai startup teknologi biasa. Wildan dan tim membangunnya seperti bisnis konvensional yang langsung berorientasi pada profit, bukan sekadar mengandalkan funding.
“Dari awal, walaupun startup, kita kerja untuk profit. Jadi ketika pertama kali dapat investasi dari Mas Achmad Zaky pun, kondisi kami saat itu sudah profit,” ungkapnya.
Meski Dibimbing dan Cakrawala sudah memiliki arah bisnis dan operasional yang jelas, tantangan tetap ada. Terutama di tengah gelombang PHK dan surutnya iklim hiring di sektor teknologi saat ini. Solusinya, kata Wildan, adalah ekspansi kemitraan industri, termasuk ke luar negeri.
“Kalau dulu 400 perusahaan cukup, sekarang harus 800. Bahkan sekarang kami kerja sama dengan perusahaan internasional untuk salurkan alumni ke luar negeri juga,” jelasnya.
Selain itu, Wildan mengatakan, tantangan lainnya selama membangun Dibimbing ialah keterbatasan pengalaman menjadi kendala terbesarnya. Di usia muda, ia langsung memimpin startup tanpa pengalaman korporat yang panjang.
“Dulu kita kalau menawarkan kerja ke orang tuh ya lewat WhatsApp… nggak ada kontrak, nggak ada apa, langsung kerja aja,” ujarnya. Ia mengakui banyak hal harus dipelajari sambil jalan, dan skala tantangan berubah setiap kali bisnis bertumbuh.
Namun ia menyebut hal itu juga sebagai keunggulan karena anak muda kadang lebih underestimated, yang membuat mereka bisa bergerak lebih bebas dan cepat beradaptasi.
Untuk para mahasiswa yang berminat mendirikan startup, Wildan berbagi nasihat realistis. “Sekarang funding itu bukan lagi soal ide, tapi harus ada traction, ada revenue, ada produk yang jelas. Tapi yang paling penting adalah foundernya. Foundernya harus kuat,” tuturnya.
Menurutnya, banyak startup gagal karena para foundernya masih punya backup plan. “Kami dulu nggak punya backup plan. Kalau Dibimbing gagal, kami nggak punya apa-apa lagi. Jadi kami push sekuat tenaga supaya ini berhasil,” tuturnya.
Adapun dalam menghadapi persaingan ketat di dunia edtech, Wildan menyebut nilai utama yang dipegang Dibimbingad alah “customer-obsessed”. Bagi timnya, keberhasilan peserta untuk mendapatkan pekerjaan menjadi indikator utama kesuksesan layanan mereka.
“Kita tuh benar-benar mementingkan kebutuhannya customer untuk achieve their goals, untuk help people get a better job,” tuturnya. Kepercayaan inilah yang menurutnya mendorong pertumbuhan lewat word of mouth, karena alumni merasa terbantu dan merekomendasikan ke orang lain.
Menutup sesi interview, Wildan membagikan kutipan yang menjadi prinsip hidupnya sejak awal membangun karier: “Jangan membangun tembok di setiap pintu, tapi bangunlah pintu di setiap tembok.”
Bagi Wildan, mentalitas inilah yang membuatnya dan tim selalu mencari jalan keluar dari tantangan. “Kadang orang tuh mentalnya, ‘ah ini nggak bisa’, tapi kita harus jadi orang yang, ‘oke, pintunya di mana ya?’” pungkasnya.

