Tim mahasiswa Fakultas Ilmu Komputer (Fasilkom) bersama Fakultas Teknik (FT) UI, The Leporidaes, berhasil meraih Juara 1 dalam ajang Microsoft AI for Accessibility Hackathon 2025.
Tim ini memukau dewan juri lewat inovasi mereka, NeuroBuddy, sebuah konsep aplikasi edukatif berbasis gim yang ditujukan untuk mendeteksi dini neurodivergence seperti autisme, ADHD, dan disleksia, tanpa menimbulkan stigma pada anak.
Tim peraih juara 1 ini terdiri dari Phoebe Ivana, Karolina Jocelyn, Micheline Wijaya Limbergh, dan Faiz Assabil Firdaus dari Fasilkom UI dan Safia Amita Khoirunnisa dari FT UI . Kolaborasi lintas fakultas ini berawal dari pertemanan dan kegiatan luar kampus.
Menurut Faiz yang belum lama diwawancarai, kolaborasi ini justru menjadi salah satu nilai lebih dari proses yang dijalani. “Brainstorming dan memikirkan idenya bareng-bareng, tapi kami (dari Fasilkom) lebih ke metode AI-nya,” imbuhnya.
Ide NeuroBuddy lahir dari problem statement yang diberikan dalam kompetisi tersebut. Tim ini memilih fokus pada tantangan mendeteksi neurodivergence sejak dini, sekaligus mengurangi stigma terhadap anak-anak yang mengalaminya.
“Dari situ kita propose NeuroBuddy. Jadi, anak cuma perlu buka game dan ngobrol dengan karakter kelinci kita. Harapannya, anak nggak merasa aneh, dan dari luar terlihat cuma main game, padahal sedang proses deteksi dini,” jelas Faiz.
Ia menambahkan, masalah keterlambatan deteksi neurodivergence sangat nyata. “Satu dari empat anak dengan spektrum autisme tidak terdeteksi sampai usia 8 tahun. Untuk ADHD, hanya satu dari 30 yang terdeteksi. Bahkan, 80% siswa lulus tanpa tahu mereka punya disleksia,” jelasnya.
Meski aplikasinya belum sampai diimplementasikan, tim ini telah memetakan solusi teknis yang realistis dengan memanfaatkan layanan dari Microsoft Azure. “Kita belum sampai bikin aplikasinya, tapi pas presentasi, juri dari Microsoft bilang, ‘Oh ini bisa diimplementasi’. Itu validasi yang besar buat kita,” kata Faiz.
Tim NeuroBuddy juga sudah memikirkan integrasi antara metode deteksi yang sudah ada saat ini dengan model gamifikasi. “Contohnya, untuk deteksi disleksia, di dunia nyata sudah pakai metode visual membedakan huruf. Nah, itu kita adaptasi ke dalam game,” jelasnya.
Soal akurasi, menurut Faiz, pendekatan machine learning yang mereka pakai mampu mencapai akurasi 80–90% berdasarkan riset literatur. “Memang yang terbaik itu kalau pakai hasil scan otak seperti MRI, yang akurasinya sampai 99%. Tapi yang kita usulkan ini metode kedua terbaik,” ujarnya.
Bagi Faiz, momen paling berkesan terjadi saat sesi pitching final, yang disaksikan langsung oleh Presiden Microsoft Indonesia. Selain itu, kemenangan ini terasa istimewa mengingat lawan-lawan mereka di kompetisi ini termasuk tim-tim berpengalaman seperti UINNOVATORS. Microsoft pun telah menyatakan ketertarikannya untuk mewujudkan ide ini ke tahap implementasi.
Pada akhir wawancara, Faiz berbagi pesan kepada rekan-rekannya di UI. “Mengikuti lomba itu salah satu cara buat kolaborasi. Menang atau enggak, yang penting itu prosesnya. Karena lewat kolaborasi, kita banyak belajar: brainstorming, mencari solusi, kenalan sama orang baru. Itu semua berharga banget,” pungkasnya.
Dengan langkah ini, The Leporidaes tak hanya menunjukkan potensi besar mahasiswa UI, tapi juga membuktikan bahwa teknologi bisa hadir untuk inklusivitas mulai dari ide sederhana, hingga bisa berdampak nyata bagi masa depan anak-anak.

