KEMANUSIAAN secara fundamental dan tidak sengaja telah memengaruhi pergeseran alam. Tetapi para ilmuwan yang paling memahami pergeseran ini biasanya hanya menggunakan bahasa sains dan penalaran (reasoning) dengan menggunakan data serta model untuk menjelaskannya.
Kadang ketergantungan yang berlebihan pada sains dan penalaran membuat sulit untuk berkomunikasi dengan masyarakat umum. Hal itu juga membutakan kita terhadap cakupan penuh masalah yang kita hadapi sekarang, yang hanya dapat dipahami sepenuhnya melalui perspektif emosional, budaya, etika, dan spiritual di dunia.
Menyisakan Ruang untuk yang Misterius dan Tidak Bisa Dijelaskan
Fisikawan teoretis terkenal Albert Einstein pernah berkata, “Logika akan membawa Anda dari A ke Z; imajinasi akan membawamu kemana-mana.” Memang, misteri memberi kita kesempatan untuk membayangkan hal-hal yang tidak realistis atau konyol dalam kehidupan kita sehari-hari. Seringkali, anak-anak suka mendengar cerita imajinatif dan bermain pura-pura dalam rangka melatih imajinasi mereka.
Manusia dan alam merupakan hal yang banyak mengandung misteri yang belum bisa semuanya dibahas secara scientific. Banyak hal yang susah untuk dijelaskan secara sains dan textbook. Penalaran ilmiah bergantung pada data dan analisis, namun ada banyak hal di dunia ini yang tidak dapat diukur.
Misalnya, seseorang tidak dapat memberikan data yang membuktikan besaran cinta terhadap manusia lain, hubungan spiritual dengan alam, rasa panggilan atau kehadiran Tuhan itu ada. Namun, banyak sekali orang yang percaya atau bahkan tahu bahwa itu ada.
Seringkali pembahasan melalui sudut pandang spiritual dan supranatural sepertinya kelihatan bertentangan dengan padangan scienctific dan textbook. Orang sering melakukan pembahasan dalam ranah misteri menggunakan istilah-istilah teknikal atau istilah yang sudah dipahami dalam sains sebelumnya.
Penggunaan istilah-istilah teknikal ini sering membuat rancu yang kelihatannya seperti berusaha meredefinisi istilah-istilah yang sudah terdefinisi dengan baik. Seringkali penggunaan istilah tersebut hanya sebatas analogi dalam menjelaskan konteks spiritual dan supranatural. Terkadang sulit untuk mencari padanan teknikal di ruang bahas spritual dan supranatural. Ruang bahas spiritual dan supranatural seringkali kelihatannya tidak nyambung (disconnected) dengan ruang bahas sains.
Penalaran ilmiah berusaha menjelaskan semua fenomena melalui kata-kata dan angka-angka. Namun ada banyak pengalaman yang menentang artikulasi, sebagai contoh, pianis klasik atau atlet profesional sering kali mengalami kesulitan besar untuk mengungkapkan esensi pengalaman mereka saat menyempurnakan keahlian mereka.
Jadi, sementara sains dapat terus maju dalam mengeksplorasi yang rasional di manusia dan alam, dengan menganalisis sistem alam melalui model “big data” menggunakan feedback loop, dan ketidak-linier-an yang beroperasi di dalamnya, ia juga harus menyisakan ruang untuk hal-hal yang misterius dan tidak dapat dijelaskan. Kita juga melatih kerendahan hati terhadap yang tidak dan mungkin tidak pernah tahu kerumitan (complexity) penuh dari semuanya itu.
Sama seperti kita tidak dapat menyatakan dengan pasti bahwa rokok akan menyebabkan seseorang terkena kanker mengingat kerumitan tubuh manusia, begitu pula kemampuan kita untuk memprediksi dampak tindakan terhadap manusia beserta lingkungan alam juga terbatas.
Suatu laporan ahli bedah pada 1964 sebenarnya menyatakan bahwa “metode statistik tidak dapat menetapkan bukti hubungan sebab akibat dalam hubungan (antara merokok dan kanker paru-paru). Signifikansi kausal dari suatu asosiasi adalah masalah pertimbangan yang melampaui pernyataan probabilitas statistik apa pun.” Perlindungan terhadap manusia dan alam juga harus menjadi masalah pertimbangan, baik berdasarkan iman maupun penalaran akal.
Akan tetapi, penalaran ilmiah memiliki kapasitas terbatas untuk pertimbangan di luar rasional, dan ini mengurangi pengaruh sains dengan menjauhkan kesimpulannya dari masyarakat umum.
Bagi banyak orang, ilmuwan dipandang sebagai kelas orang yang “mengutamakan yang rasional daripada yang intuitif atau spiritual, memisahkan fakta dari nilai dan emosi, dan bertindak bertentangan dengan keyakinan agama tentang tatanan ‘alami’,” seperti yang ditulis sejarawan Richard Hofstadter dalam bukunya yang memenangkan Penghargaan Pulitzer pada 1964.
This page is also available in: English